MADRASAH YANG TAK PERNAH MENYERAH — MIN 21 Bireuen
Feature News: Kisah MIN 21 Bireuen Bertahan dari Banjir Hidrometeorologi yang Melumpuhkan

Musibah itu datang pada Selasa malam, 25 November 2025, saat hujan deras sejak sore tidak kunjung reda. Intensitas hujan yang tinggi disertai luapan air dari kawasan hulu menyebabkan banjir hidrometeorologi menerjang wilayah Kecamatan Peusangan, termasuk kawasan madrasah. Dalam hitungan jam, air bercampur lumpur memasuki lingkungan madrasah. Ketinggian air mencapai kurang lebih dua meter, menenggelamkan setiap ruang kelas, perpustakaan, kantor guru, laboratorium komputer, hingga halaman madrasah yang biasanya menjadi pusat aktivitas anak-anak.
Tidak ada yang sempat diselamatkan. Air naik terlalu cepat, dan semua orang hanya bisa menyaksikan dari jauh, berharap banjir segera surut. Namun harapan itu tidak terkabulkan. Hari demi hari, air tetap tinggi. Rencana peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang seharusnya digelar pada Kamis, 27 November 2025, terpaksa dibatalkan. Tempat yang biasanya dihias meriah dengan spanduk, rebana, dan hidangan kenduri, berubah total menjadi pemandangan tragis: tumpukan kayu, perabot terbalik, dan lumpur yang menutup seluruh permukaan lantai.
Barulah pada Sabtu sore, 29 November 2025, air mulai surut perlahan. Menyisakan bau menyengat bercampur lumpur pekat dan sampah hanyut dari berbagai sudut desa. Guru, pegawai, masyarakat sekitar, dan alumni yang datang melihat kondisi bangunan madrasah hanya bisa terdiam lama. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan perasaan saat itu—campuran antara sedih, terpukul, namun sekaligus muncul tekad untuk tidak menyerah.
MIN 21 Bireuen: Madrasah yang Menjadi Harapan Pendidikan di Kecamatan Jeumpa Bireuen
MIN 21 Bireuen bukan sekadar madrasah dasar berbasis agama. Madrasah ini merupakan tempat bernaung bagi lebih dari ratusan siswa dari berbagai desa di sekitar Kecamatan Jeumpa dan Kecamatan Peudada Kabupaten Bireuen, yang percaya bahwa pendidikan adalah jalan untuk masa depan yang lebih baik. Madrasah ini dikenal aktif menghadirkan program pembiasaan mengaji, pembinaan karakter Islami, literasi, tahfiz, dan berbagai kegiatan lomba tingkat kabupaten maupun provinsi.
Sebagian besar siswa berasal dari keluarga petani, nelayan, dan pekerja harian. Banyak orang tua dengan bangga bercerita bahwa anak-anak mereka belajar bukan hanya membaca dan menulis, tetapi juga belajar menghormati guru, mencintai agama, dan berdisiplin dalam kehidupan.
Karena itu, ketika banjir merusak ruang kelas dan fasilitas, luka yang dirasakan bukan hanya fisik tetapi juga emosional. Tempat yang selama ini menjadi simbol harapan seolah direbut seketika oleh amukan alam.
Banjir Hidrometeorologi yang Tak Terduga
Para guru yang malam itu terbangun oleh suara hujan deras tidak pernah membayangkan bahwa paginya mereka akan menyaksikan lingkungan madrasah tenggelam. Tikungan air dari sungai meluap bersamaan dengan curah hujan ekstrem. Dalam hitungan menit, air bercampur lumpur memasuki pagar madrasah dan terus merangkak naik melalui teras, lorong kelas, hingga menenggelamkan semuanya.
Ketika air mencapai titik tertinggi, ketinggiannya hampir dua meter, menandai peristiwa banjir terdalam yang pernah dialami madrasah. Semua ruang kelas berubah seperti kolam. Buku-buku mengambang, lembar pelajaran tersangkut di jendela, dan perabot madrasah saling bertumpuk tak beraturan.
Setelah air mulai surut pada 29 November 2025, kerusakan itu terlihat jelas:
- Puluhan unit komputer rusak total, terendam air dan lumpur
- Peralatan kantor seperti printer dan mesin fotokopi tidak bisa berfungsi lagi
- Sebuah mesin genset rusak berat
- Ruang perpustakaan hancur, buku bacaan anak-anak basah, bengkak, berbau, dan tidak bisa digunakan
- Setiap ruang kelas dipenuhi lumpur tebal, bahkan beberapa perabot tersangkut di sudut ruangan
- Meja dan kursi guru serta siswa banyak yang patah dan lapuk
- Lantaian kelas retak dan dinding berjamur
Bagi para guru, yang paling menyakitkan adalah melihat buku-buku perpustakaan yang selama ini dikumpulkan dengan perjuangan—hasil dari program donasi literasi, anggaran BOS, dan dukungan alumni—hancur tak tersisa.
"Ketika kami membuka pintu perpustakaan setelah air surut, rasanya seperti melihat harapan ikut tenggelam. Semua buku berlapis lumpur. Tak ada satu pun yang bisa diselamatkan," tutur salah satu guru dengan mata berkaca-kaca.
Maulid yang Tertunda: Perayaan Iman yang Berubah Menjadi Ujian Keteguhan
Tanggal 27 November 2025 seharusnya menjadi hari yang paling ditunggu para siswa. Mereka sudah berlatih rebana selama berminggu-minggu. Panitia orang tua sudah menyiapkan hidangan kenduri. Spanduk besar Maulid Nabi sudah selesai dicetak.
Namun apa daya. Alam memutuskan hal lain.
Peringatan Maulid yang seharusnya dirayakan dengan penuh sukacita berubah total menjadi suasana duka dan lumpur. Di halaman madrasah yang biasa dipasang tenda, kini tingginya lumpur mencapai betis orang dewasa. Anak-anak hanya bisa menonton dari jauh, sebagian bertanya polos:
"Ustaz.. kenapa Allah kasih banjir di madrasah kita?"
Pertanyaan sederhana yang menyayat hati, namun menjadi awal refleksi penting. Para guru mengajarkan kepada anak-anak bahwa Musibah adalah ujian, bukan hukuman. Allah ingin melihat siapa yang tetap sabar dan siapa yang mau saling membantu.
Dan benar saja, pembelajaran terbesar justru dimulai setelah banjir.
Gotong Royong: Ketika Semua Turun Tangan dan Tidak Ada yang Menunggu Perintah
Keesokan hari setelah air surut, tanpa komando, para guru datang dengan pakaian kerja seadanya, membawa cangkul, gayung, sekop, dan sapu. Mereka menghabiskan lebih dari seminggu penuh membersihkan ruang kelas satu per satu.
Mereka menggali lumpur dari lantai yang ketinggiannya hampir sepuluh sentimeter. Mereka mengangkat kursi dan meja yang berlapis lumpur. Mereka mengangkut buku-buku yang rusak ke halaman depan untuk dipilah mana yang masih bisa diselamatkan walaupun hanya sedikit. Mereka menguras air kotor yang masuk ke ruang kantor dan perpustakaan. Mereka menjemur peralatan madrasah yang tersisa di bawah terik matahari.
Pada saat yang sama, masyarakat sekitar, termasuk alumni madrasah, datang membantu tanpa diminta. Ada yang membawa teh panas dan makanan, ada yang membawa mesin semprot untuk menguras air dan membersihkan lantai, ada yang mengangkut sampah lumpur ke luar kompleks.
Suasana gotong royong seperti menghidupkan kembali semangat persaudaraan yang hampir hilang di tengah individualisme modern. Tidak ada status, tidak ada batas jabatan—semuanya setara di bawah lumpur dan peluh.
"Melihat para guru membersihkan madrasah tanpa lelah, kami merasa malu kalau hanya menonton," ujar salah seorang alumni yang ikut membantu.
Bukan Akhir, Tapi Awal Baru
Walaupun kondisi fisik madrasah belum kembali normal, semangat pendidikan tidak padam. Para guru memutuskan bahwa kegiatan belajar harus dilanjutkan secepat mungkin, meskipun dengan kondisi terbatas. Beberapa ruang belajar darurat disiapkan, sebagian di teras, sebagian di ruang yang sudah lebih dulu dibersihkan.
Bagi anak-anak, kembali belajar bukan hanya kebutuhan akademik, tapi juga cara memulihkan trauma. Suara riuh mereka kembali mengisi halaman madrasah, perlahan menggantikan keheningan pasca bencana.
Madrasah juga tengah berupaya mencari dukungan dari berbagai pihak untuk pemulihan sarana dan prasarana. Kerugian besar pada komputer, printer, perpustakaan, dan perabot membuat kegiatan belajar mengajar harus menyesuaikan diri sementara waktu.
Namun satu hal menjadi jelas:
Banjir mungkin merusak bangunan, tetapi tidak akan pernah mampu merusak semangat belajar dan kekuatan persaudaraan MIN 21 Bireuen.
Penutup: Harapan di Tengah Lumpur
Lebih dari sekadar bencana, apa yang dialami MIN 21 Bireuen adalah gambaran nyata tentang ketangguhan manusia menghadapi musibah dengan iman dan kebersamaan. Badan bangunan mungkin luluh lantak, tetapi pondasi moral para guru, siswa, dan masyarakat justru semakin kokoh.
Musibah ini mengingatkan bahwa pendidikan bukan hanya soal buku dan kelas, tetapi tentang membangun karakter, kekuatan hati, dan nilai kemanusiaan.
Suatu hari nanti, ketika halaman madrasah kembali hijau dan anak-anak berlarian riang, kisah ini akan dikenang sebagai sejarah yang mengajarkan bahwa:
Setiap musibah yang datang bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk membuat manusia lebih kuat.
Dan MIN 21 Bireuen telah membuktikannya.
Belum ada Komentar untuk "MADRASAH YANG TAK PERNAH MENYERAH — MIN 21 Bireuen"
Posting Komentar