Cerpen: "Layang-Layang di Langit Senja"
Di senja yang keemasan, aku melangkah di antara hamparan sawah yang luas bersama Ishak, Ismail, Abdullah, dan Romario. Aroma padi yang hampir menguning tercium oleh angin sepoi-sepoi. Kami berlima menenteng layang-layang buatan sendiri—kertas warna-warni yang tertempel dengan stiker dan pita, kerangka bambu ringan, serta benang yang kuat. Sesekali, kami berhenti menatap langit yang membentang tiada habisnya, berharap awan putih menari bersama layang-layang.
“Siap, Romario?” tanyaku sambil melemparkan layang-layangnya ke udara. Ia mengangguk antusias, lalu berlari sekencang mungkin.
Layang-layang itu melesat naik, mencakar angkasa. Dari kejauhan, Ishak dan Ismail pun melepaskan layang-layang mereka. Suara tawa riang menggema, berbaur dengan desir angin di antara jerami padi.
“Lihat, kak Romario! Kau bisa lebih tinggi!” seruku sambil memegang benang layang-layangku. Kubayangkan sayap-sayapnya terbuka lebar, siap menerbangkan mimpi kami.
Abdullah berteriak, “Ayo, kita lomba!” Ia melompat kegirangan, menarik bahuku. Kami berlima pun berpencar, saling berlomba.
Layang-layangku terombang-ambing, hampir tertarik benang Ismail yang tengah berputar. Berdiri di tepi parit sempit, kami berebut benang, memelintir, dan mencoba menurunkan layang-layang lawan. Kadang tali kami seakan menari, kadang bergeser mengikuti angin, membuat layangan lain terjerat. Sungguh pemandangan yang mempesona: warna-warni layangan menari di atas hamparan hijau sawah.
Tiba-tiba, Romario berseru, “Eh, lihat!” Tangannya menunjuk seekor elang yang terbang rendah. Kami semua tertegun melihatnya. Bayangan sayap elang menari di atas tanaman padi, seolah ia juga ingin ikut bermain. Selama beberapa saat, yang terdengar hanyalah suara gemerisik dedaunan dan keheningan.
“Wow, luar biasa,” kata Ishak pelan. “Seperti pelindung sawah ini.”
Mendadak suasana menjadi khidmat. Elang itu lalu terbang tinggi ke atas dan menghilang di balik langit dengan satu gerakan. Kami terperangah, tapi tak satu pun layangan yang terjatuh.
“Sepertinya ini pertanda baik,” bisikku pada teman-teman. Mereka saling pandang, lalu tertawa puas.
Tanpa kami sadari, matahari mulai meredup. Sinar jingga merembes melalui dedaunan. Kami masih asyik memainkan layangan, hingga terdengar panggilan dari kejauhan.
“Ayah! Bunda!” suara panggilan itu datang beruntun, semakin mendekat. Kami saling berhenti, pandangan bergantian antara langit dan rumah di pinggir sawah.
“Aduh, sudah sore,” gumam Ismail.
“Iya, pasti nanti dimarahi kalau pulang kesiangan,” tambah Abdullah, wajahnya memucat sedikit.
“Yuk, kita bungkus dulu layang-layangnya,” ajakku. Kami berlima merunduk, mengulung benang dengan hati-hati agar tidak kusut. Rumput yang basah oleh embun senja membuat celana kami sedikit lembap, tapi tak mengurangi semangat.
Tak lama, kami mendengar suara langkah kaki tergesa-gesa. Dari balik pohon kelapa, muncullah Ayah Ishak, memanggul cangkul, diikuti Bunda Romario yang membawa sebuah keranjang nasi dan botol air. Mereka berdiri, wajah menunjukkan campuran lega dan prihatin.
“Ayah! Bunda!” teriak Romario riang, tapi suaranya tertahan oleh teguran lembut.
“Kalian sudah tahu aturan, anak-anak. Jangan main terlambat,” kata Ayah Ishak dengan nada tegas, namun lembut. Matanya memancarkan kekhawatiran.
“Maaf, Ayah. Kami asyik,” jawab Ishak menunduk.
Bunda Romario menyodorkan keranjang nasi. “Ini bekal untuk pulang. Kalian lapar, ya?”
Kami mengangguk. Aroma nasi hangat dan lauk sederhana—tempe goreng, sambal terasi, dan kerupuk—seakan mengundang selera.
Sementara itu, Ayahanku tiba bersama Bunda Ismail. Mereka bersiap membersihkan tangan dan pipi kami yang kotor dengan membawa sapu dan kain.
“Kalian jangan main sampai gelap gulita,” Ayah berkata sambil menepuk bahuku. “Besok sekolah kan?”
“Iya, Ayah. Kami pulang sekarang,” jawabku mantap.
Abdullah sempat menoleh pada sawah yang mulai gelap. Cahaya terakhir sinar matahari membentuk garis lembut di atas bulir padi, menciptakan lukisan alam yang menakjubkan. Aku menahan rindu pada lapangan terbuka ini.
“Tapi, kita main lagi besok, kan?” tanya Abdullah dengan mata berbinar.
Semua mengangguk semangat. Ayah dan Bunda saling bertukar senyum, meski mereka tahu anak-anak ini akan terus diuji kesabaran kedua orang tua.
Kami berjalan berbaris pulang, membawa layang-layang yang sudah terlipat rapi. Pohon-pohon sawah nyaris tak bergerak, seakan melepas kami dengan hangat. Hari yang penuh kegembiraan berakhir saat langit senja berubah menjadi ungu.
Di tengah perjalanan, kami terdiam sesaat. Hening yang menenangkan. Aku memandang teman-teman, menimbang setiap tawa dan teriakan ceria yang kami lalui. Hari ini benar-benar luar biasa.
Kami langsung menuju kamar mandi begitu sampai di halaman. Suara gemericik air mengalun, membersihkan debu dan lelah. Bunda menyiapkan handuk hangat, sedangkan Ayah menunggu di ruang tamu. Kami berganti pakaian bersih setelah mandi dan berkumpul di sekitar meja kayu antik.
“Anak-anak, kalian ke mana saja tadi?” tanya Ayah sambil meneguk teh manis.
“Ke sawah, Ayah. Main layang-layangan,” jawab Romario cepat.
“Lalu…,” Bunda menegur lembut, “kenapa tidak memberitahu sebelumnya?”
“Aku lupa, Bunda,” ujar Ismail malu-malu.
Ayah menatap satu per satu, lalu tersenyum. “Ingat, nak, orang tua selalu khawatir. Kalau kalian mau main jauh, bilang dulu. Biar kami tenang.”
Kami semua mengangguk. Hati ini merasa berat meninggalkan hamparan sawah, tapi lebih berat jika membuat orang tua gelisah.
“Makan dulu, yuk,” ajakku. Suara perut keroncongan mendadak terhenti, diganti suara sendok dan piring bersentuhan. Ada hangat kekeluargaan di sudut meja itu.
Setelah makan, satu demi satu kami pamit sebelum pukul tujuh malam. Aku mencium tangan Ayah dan Bunda, kemudian melangkah pulang ke rumah sendiri, sambil memikirkan rencana esok.
Besok, kami akan kembali ke sawah yang sama. Dengan layang-layang baru, semangat baru, dan janji untuk tetap memberi kabar. Angin mungkin tetap berhembus, padi mungkin tetap menguning, namun persahabatan kami yang membuat setiap sentuhan angin terasa penuh cerita.
Dan ketika malam tiba, aku menuliskan kisah hari ini di buku harian: sebuah petualangan layang-layang di antara padi, tawa teman, suara elang, teguran orang tua, serta janji untuk esok yang lebih ceria. Karena sejati keceriaan, bukan hanya tentang bermain, tetapi juga tentang belajar tanggung jawab dan menjaga hati orang tua yang menyayangi.
Demikianlah hari kami berlima. Hari yang mungkin biasa, namun terpatri indah di ingatan, selayaknya layang-layang yang terbang tinggi, menanggung benang-benang harapan di tengah hamparan sawah yang sunyi dan damai.
Karya: [Tim Media MIN 21 Bireuen]
Belum ada Komentar untuk "Cerpen: "Layang-Layang di Langit Senja""
Posting Komentar