Menelusuri Jejak Kejayaan Islam di Bumi Samudra Pasai
Kunjungan Edukasi Siswa Kelas VI MIN 21 Bireuen ke Museum Islam Samudra Pasai dan Makam Malikussaleh, 29 Oktober 2025

Bireuen — Rabu pagi, 29 Oktober 2025, suasana di halaman Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 21 Bireuen tampak lebih hidup dari biasanya. Sejak pukul 07.00 WIB, sebanyak 72 siswa kelas VI dari tiga rombongan belajar (rombel) berkumpul dengan penuh semangat, mengenakan seragam rapi, membawa perlengkapan catatan, dan siap mengikuti Kunjungan Edukasi ke Museum Islam Samudra Pasai dan Makam Malikussaleh.
Kegiatan ini mengusung tema “Menelusuri Jejak Kejayaan Islam di Bumi Samudra Pasai”, di bawah pendampingan enam guru yang turut serta membimbing para peserta didik. Rombongan berangkat menggunakan dua bus menuju Desa Beuringin, Kecamatan Samudra, Kabupaten Aceh Utara, lokasi bersejarah tempat berdirinya kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Langkah Awal Menuju Bumi Sejarah Islam Nusantara
Perjalanan edukatif ini bukan sekadar rekreasi akademik, melainkan bagian dari program Profil Pelajar Pancasila dan Rahmatan lil ‘Alamin yang dicanangkan oleh madrasah. Kegiatan dirancang agar para siswa tidak hanya memahami sejarah dari buku pelajaran, tetapi juga mengalami langsung nilai-nilai sejarah, budaya, dan spiritualitas Islam yang pernah berkembang di wilayah Aceh.
Salah seorang guru pendamping, Ustazah Fitriah, S.Pd.I, menjelaskan bahwa kunjungan ini menjadi momen penting bagi peserta didik untuk mengenal sejarah lokal sebagai bagian dari identitas bangsa.
“Anak-anak kita perlu tahu bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia bukan melalui perang, tapi lewat dakwah damai di Samudra Pasai. Dari sinilah cikal bakal peradaban Islam Nusantara bermula,” ujar beliau di sela kegiatan.
Selain itu, kegiatan ini juga menjadi wujud nyata pelaksanaan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning), di mana peserta didik diajak memahami materi sejarah dan kebudayaan Islam melalui pengalaman langsung di lapangan.
Menapak Tilas di Museum Islam Samudra Pasai
Rombongan tiba di Museum Islam Samudra Pasai sekitar pukul 09.00 WIB. Bangunan museum yang berdiri megah di kawasan Beuringin tersebut menyimpan berbagai artefak peninggalan masa kejayaan Kerajaan Samudra Pasai, mulai dari batu nisan bertuliskan kaligrafi Arab, mata uang dirham kuno, hingga peta perdagangan abad ke-13 yang menunjukkan hubungan internasional kerajaan ini dengan negeri-negeri Islam lain seperti Gujarat, Mesir, dan Arab.
Para siswa tampak antusias menyimak penjelasan dari pemandu museum. Mereka belajar bahwa Kerajaan Samudra Pasai didirikan oleh Sultan Malikussaleh sekitar abad ke-13, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Melalui jalur perdagangan dan dakwah, Islam kemudian menyebar luas ke berbagai daerah di Sumatra, Jawa, Kalimantan, hingga Maluku.
Salah satu siswa, Afiqa Zahira, mengungkapkan kekagumannya setelah melihat langsung peninggalan bersejarah itu.
“Selama ini saya hanya membaca di buku tentang Samudra Pasai. Sekarang saya bisa lihat langsung uang dirham dan batu nisan Sultan Malikussaleh. Rasanya seperti kembali ke masa lalu,” ujarnya dengan wajah berbinar.
Selain artefak sejarah, museum juga menampilkan diorama kehidupan masyarakat Samudra Pasai, termasuk replika kapal dagang dan pasar kuno yang menggambarkan interaksi antara pedagang lokal dan luar negeri.

Kepala Museum Samudra Pasai yang menerima rombongan, turut memberikan penjelasan singkat mengenai peran strategis Samudra Pasai dalam sejarah Islam di Asia Tenggara.
“Pasai adalah mercusuar peradaban Islam di Nusantara. Di sinilah Islam menjadi agama resmi kerajaan, berkembangnya ilmu pengetahuan, dan lahirnya para ulama besar,” ujarnya di hadapan para siswa.
Ziarah Edukatif ke Makam Sultan Malikussaleh
Usai mengunjungi museum, rombongan melanjutkan perjalanan ke kompleks Makam Sultan Malikussaleh, yang terletak tidak jauh dari lokasi museum. Di tempat inilah Sultan Malikussaleh, pendiri dan raja pertama Samudra Pasai, dimakamkan dengan batu nisan khas berinskripsi Arab yang menjadi salah satu bukti kuat masuknya Islam ke wilayah Aceh.
Kegiatan ziarah ini dikemas dengan pendekatan edukatif dan spiritual. Para siswa didampingi guru membaca doa bersama untuk para leluhur Islam di Aceh, sekaligus mendengarkan kisah singkat tentang kepemimpinan Sultan Malikussaleh yang dikenal adil, bijaksana, dan berwawasan luas.
Guru Pendamping, Ustazah Nazira Raufi, S.Pd, menjelaskan kepada para siswa tentang pentingnya menghormati jasa para pendahulu.
“Sultan Malikussaleh bukan hanya raja, tapi juga seorang ulama dan pejuang dakwah. Kita patut meneladani semangat beliau dalam membangun negeri dengan ilmu, iman, dan keadilan,” tuturnya.
Para siswa tampak khusyuk, sebagian mencatat, sebagian lainnya mengamati batu nisan yang telah berumur ratusan tahun namun masih kokoh berdiri. Suasana hening dan penuh makna seolah mengingatkan bahwa sejarah bukan sekadar cerita, melainkan warisan nilai yang harus dijaga.

Belajar dari Sejarah, Menumbuhkan Cinta Tanah Air dan Islam
Kegiatan kunjungan edukasi ini menjadi wadah pembelajaran lintas disiplin. Selain sejarah dan keagamaan, siswa juga dilatih untuk berinteraksi sosial, menjaga etika kunjungan, serta melatih sikap tanggung jawab selama perjalanan.
Menurut Kepala MIN 21 Bireuen, Bapak Muntadhar, S.Pd.I, M.Pd.I, kegiatan seperti ini merupakan bagian dari strategi madrasah dalam menumbuhkan karakter dan kecintaan terhadap nilai-nilai Islam dan kebangsaan.
“Kami ingin anak-anak memahami bahwa Islam di Indonesia memiliki sejarah panjang yang damai dan beradab. Melalui kunjungan seperti ini, mereka belajar menghargai peran ulama, memahami jati diri bangsa, dan menumbuhkan rasa bangga sebagai generasi Aceh dan Indonesia,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa program edukatif ini akan menjadi agenda tahunan madrasah sebagai bagian dari pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning).
Selain itu, kegiatan ini juga relevan dengan salah satu visi misi MIN 21 Bireuen yaitu “Terwujudnya peserta didik yang beriman, berilmu, berkarakter, dan cinta budaya Islami.”
Refleksi dan Kesimpulan Pembelajaran
Sebelum kembali ke madrasah, rombongan melakukan sesi refleksi singkat di halaman museum. Setiap kelompok siswa diminta menyampaikan kesan dan pelajaran yang didapat dari kunjungan tersebut. Banyak di antara mereka mengaku bangga menjadi bagian dari generasi muda Aceh yang memiliki akar sejarah Islam yang kuat.
Beberapa siswa menulis catatan kecil yang kemudian akan dijadikan laporan kelompok. Salah satunya, Balia, menulis:
“Saya belajar bahwa Islam di Aceh sudah ada sejak lama. Kita harus meneruskan semangat Sultan Malikussaleh yang cinta ilmu dan keadilan.”
Para guru pun menilai kegiatan ini sangat efektif dalam menumbuhkan keterampilan abad 21 — seperti berpikir kritis, kolaborasi, dan komunikasi — melalui pendekatan langsung di lapangan.
“Anak-anak belajar bukan hanya dari buku, tapi dari lingkungan sejarah yang hidup. Inilah bentuk pendidikan yang memadukan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai spiritual,” ujar Ustazah Rahmati, S.Pd, salah satu guru pendamping.
Akhir Perjalanan yang Penuh Makna
Sekitar pukul 14.00 WIB, rombongan kembali ke Bireuen dengan penuh kesan mendalam. Meski lelah, wajah para siswa menunjukkan kegembiraan dan rasa ingin tahu yang terus tumbuh. Banyak yang berjanji akan membaca lebih banyak tentang sejarah Islam dan tokoh-tokoh Aceh di masa mendatang.
Bagi MIN 21 Bireuen, kegiatan ini bukan hanya perjalanan edukatif, melainkan juga investasi moral dan intelektual bagi generasi penerus. Melalui pengalaman langsung seperti ini, madrasah berharap para siswa mampu memahami bahwa kejayaan Islam masa lalu bukan untuk dikenang semata, tetapi menjadi inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih berilmu, beradab, dan beriman.
Penutup
Kunjungan edukasi ke Museum Islam Samudra Pasai dan Makam Malikussaleh telah memberikan pelajaran berharga bahwa sejarah adalah guru terbaik. Dari tanah yang pernah menjadi pusat dakwah Islam pertama di Nusantara, para siswa MIN 21 Bireuen belajar tentang arti kebesaran, kerendahan hati, dan cinta terhadap ilmu.
Perjalanan sehari itu menjadi bukti bahwa pendidikan sejati tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi juga di setiap langkah kecil ketika generasi muda berani menelusuri akar sejarah bangsanya. Dan di antara deru bus yang kembali ke madrasah, terselip satu pesan kuat dari masa lalu: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.”
Tagar: #MIN21Bireuen #KunjunganEdukasi #SamudraPasai #Malikussaleh #SejarahIslamAceh #MadrasahHebat #AcehBerbudaya #CintaSejarah #PendidikanIslami
Belum ada Komentar untuk "Menelusuri Jejak Kejayaan Islam di Bumi Samudra Pasai"
Posting Komentar